October 16, 2025 By elpis
Ada sebuah kebenaran yang sering saya renungkan dalam perjalanan hidup dan karir saya: kesuksesan itu seperti api. Generasi pertama menyalakannya dengan keringat dan darah, generasi kedua merawatnya dengan hati-hati, dan generasi ketiga? Sering kali api itu padam karena mereka lupa bagaimana rasanya kedinginan.
Saya melihat ini bukan hanya dalam konteks bisnis keluarga atau warisan harta. Fenomena ini terjadi di mana-mana, dalam birokrasi, dalam organisasi, bahkan dalam cara kita membesarkan anak-anak kita. Ada pola yang terus berulang, mereka yang membangun dari nol memiliki daya juang yang berbeda. Mereka tahu persis rasa jatuh, bangkit, jatuh lagi, dan terus bangkit sampai akhirnya berhasil berdiri tegak.
Perintis itu spesial. Mereka mulai dengan tangan kosong, modal nekat, dan optimisme yang kadang terlihat bodoh di mata orang lain. Tidak ada jaring pengaman. Tidak ada plan B yang nyaman. Yang ada hanya tekad, “Saya harus berhasil, atau mati mencoba.” Mentalitas seperti ini yang membuat mereka pantang menyerah. Ketika ditolak, mereka coba lagi. Ketika gagal, mereka bangkit lebih kuat. Kelaparan akan kesuksesan itu nyata, bisa diraba, mengalir dalam setiap keputusan yang mereka ambil.
Lalu lahirlah generasi kedua, para pewaris. Mereka tumbuh dengan sendok emas di mulut, tidur di ranjang yang empuk, sekolah di tempat terbaik. Semua sudah tersedia. Disinilah masalahnya mulai. Bagaimana Anda mengajarkan rasa lapar kepada orang yang perutnya selalu kenyang? Bagaimana Anda menanamkan semangat juang kepada anak yang tidak pernah merasakan pahitnya kekalahan sejati?
Saya sering bertemu dengan orang tua yang sukses luar biasa dalam bisnis atau karir mereka, tapi kemudian bingung ketika anaknya tidak menunjukkan semangat yang sama. “Kenapa anak saya malas? Kenapa dia tidak punya ambisi seperti saya dulu?” Pertanyaan ini saya dengar berkali-kali. Dan jawaban saya selalu sama: karena konteksnya berbeda.
Anda membangun bisnis Anda karena Anda ingin keluar dari kemiskinan. Anak Anda lahir sudah di dalam istana. Bagi Anda, bekerja keras adalah survival. Bagi mereka, bekerja keras adalah pilihan. Dan itulah perbedaan fundamental yang sering dilupakan.
Tapi apakah ini berarti para pewaris sudah pasti gagal? Tidak. Saya melihat ada orang tua yang berhasil mendidik anak-anaknya untuk tetap memiliki mental perintis meski lahir sebagai pewaris. Mereka tidak memanjakan. Mereka memberikan tantangan. Mereka membuat anak-anak mereka jatuh dengan aman, agar mereka tahu rasanya bangkit. Mereka mengajarkan bahwa privilege adalah amanah, bukan hak mutlak.
Kuncinya adalah jangan biarkan kenyamanan membunuh daya juang. Sejak kecil, tanamkan nilai-nilai perjuangan. Biarkan mereka merasakan pahitnya penolakan, gagalnya kompetisi, sakitnya dikritik. Jangan selalu selamatkan mereka dari masalah. Biarkan mereka belajar bahwa hidup tidak selalu berpihak pada mereka meski nama keluarga mereka besar.
Pewaris yang baik adalah pewaris yang bertindak seperti perintis. Mereka tidak mengandalkan nama besar orang tua. Mereka tidak bersembunyi di balik warisan. Mereka keluar, berkompetisi, dan membuktikan diri mereka sendiri. Mereka menjaga api yang diwariskan, tapi mereka juga menyalakan api mereka sendiri.
Sekarang saya ingin bicara tentang sisi lain dari koin ini para perintis baru. Mereka yang lahir tanpa privilege, tanpa koneksi, tanpa modal besar. Mereka melihat pewaris-pewaris ini dan kadang merasa, “Bagaimana saya bisa bersaing? Mereka sudah start dari garis depan, sementara saya masih di belakang.”
Dan memang benar, hidup itu tidak adil. Ada orang yang lahir sudah kaya, tampan, pintar, dan semua pintu terbuka untuk mereka. Ada orang yang lahir harus berjuang untuk hal-hal paling dasar. Ini realitas yang keras. Tapi dengarkan baik-baik: ketidakadilan ini juga membawa keadilan tersembunyi.
Ketika pewaris gagal mempertahankan warisan mereka karena lemah, siapa yang mengambil alih? Perintis baru. Ketika bisnis keluarga kolaps di generasi ketiga karena cucu-cucu yang manja, siapa yang membangun kerajaan bisnis baru? Perintis baru. Ekonomi dan masyarakat punya cara untuk menyeimbangkan dirinya sendiri. Yang lemah akan tergantikan oleh yang kuat. Yang malas akan kalah dari yang kerja keras.
Jadi kalau Anda adalah perintis baru, jangan minder. Jangan merasa sudah kalah sebelum bertanding. Justru Anda punya senjata yang tidak dimiliki banyak pewaris: kelaparan. Anda lapar akan kesuksesan. Anda lapar akan pengakuan. Anda lapar akan perubahan nasib. Dan kelaparan itu adalah bahan bakar terkuat yang bisa menggerakkan manusia.
Saya pernah melihat anak konglomerat kalah bersaing dengan anak tukang bakso. Kenapa? Karena anak konglomerat itu merasa dunia sudah di tangannya, sementara anak tukang bakso itu tahu dia harus merebut dunianya sendiri. Daya juang mereka berbeda. Endurance mereka berbeda. Kemauan untuk bertahan saat semuanya sulit itu berbeda.
Yang paling ideal adalah ketika seseorang bisa menjadi pewaris sekaligus perintis. Mewarisi apa yang sudah dibangun pendahulunya, tapi tetap memiliki mental untuk merintis hal baru. Tidak gengsi untuk mulai dari bawah. Tidak gengsi untuk jualan. Tidak gengsi untuk belajar dari orang-orang yang mungkin secara status lebih rendah.
Mental inilah yang harus kita bangun, terutama di kalangan anak muda Indonesia. Terlalu banyak anak muda yang merasa berhak mendapat posisi bagus hanya karena mereka punya gelar atau datang dari keluarga tertentu. Terlalu banyak yang malu memulai dari bawah karena gengsi. Terlalu banyak yang ingin langsung jadi bos tanpa pernah merasakan jadi bawahan.
Saya selalu bilang, kalau Anda anak orang kaya, itu bonus. Tapi jangan jadikan itu identitas Anda. Buktikan bahwa Anda bisa sukses bukan karena nama besar orang tua Anda, tapi karena kemampuan Anda sendiri. Keluar dari zona nyaman. Tantang diri Anda. Bersaing di arena terbuka tanpa bantuan privilege.
Dan kalau Anda anak dari keluarga sederhana, jangan jadikan itu alasan untuk menyerah. Justru jadikan itu motivasi. Sejarah membuktikan bahwa banyak pemimpin besar, pengusaha sukses, dan orang-orang berpengaruh lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Mereka punya satu kesamaan: mereka tidak pernah menyerah.
Endurance. Daya tahan. Ini yang sering dilupakan. Banyak orang fokus pada start yang bagus tapi lupa bahwa hidup ini marathon, bukan sprint. Pewaris mungkin start lebih depan, tapi kalau mereka tidak punya endurance, mereka akan tersalip. Perintis mungkin start dari belakang, tapi kalau mereka punya kegigihan dan tidak pernah berhenti berlari, mereka akan sampai di garis finish.
Saya ingin setiap anak muda Indonesia, apapun latar belakang Anda, memahami ini: kesuksesan bukan warisan yang bisa diberikan begitu saja. Kesuksesan adalah sesuatu yang harus direbut, diperjuangkan, dan dipertahankan dengan kerja keras setiap hari. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada yang instan.
Jadilah perintis dalam jiwa Anda, apapun status Anda. Jangan pernah berhenti belajar, jangan pernah berhenti berjuang, dan jangan pernah merasa sudah cukup. Dunia terus bergerak, kompetisi terus datang, dan hanya mereka yang terus berkembang yang akan bertahan.
Dan ingat: siapapun Anda, dari manapun Anda datang, Anda punya kesempatan. Kesempatan itu mungkin tidak sama besar, tapi kesempatan itu ada. Yang menentukan adalah apa yang Anda lakukan dengan kesempatan itu. Apakah Anda akan menyalahkan keadaan dan menyerah? Atau Anda akan memaksimalkan apa yang Anda punya dan terus maju?
Pilihan ada di tangan Anda. Dan percayalah, mental pemenang bukan soal dari mana Anda berasal, tapi ke mana Anda ingin pergi dan seberapa keras Anda mau berusaha untuk sampai di sana.